Kata Pengantar
“Jroning
peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo
wanito!”
Sebuah
kalimat yang beberapa kali saya dengar dari para sesepuh. Maupun dari berbagai
bacaan, baik berupa buku maupun bacaan yang sengaja saya browsing dari dunia maya. Kalimat
tersebut juga tercetuskan dalam pertunjukkan wayang kulit oleh seorang Dalang Kondang,
yaitu Ki Narto Sabdo. Tentu beliau
sangat memahami ‘pakem’ cerita ini beserta seluruh kandungan makna, baik yang
tersirat maupun yang tersurat. Saya
bukan Dalang ataupun Anak Dalang yang mumpuni untuk menjabarkan alur dan makna
suatu cerita pewayangan dengan ‘fasih’. Saya hanyalah penikmat cerita
pewayangan yang begitu sarat dengan kandungan makna kehidupan yang adiluhung.
Tak ada salahnya jika saya pun sedikit bercorat-coret menarikan aksara
berdasarkan ‘intuisi’ yang keluar dari dalam batin. Tentu ada alur cerita yang
saya ‘comot’ dari literatur-literatur
yang ada. Namun, ada banyak bagian pula menyajikan sudut pandang yang berbeda
dengan ‘pakem’ yang biasa dilakonkan.
“Jroning
peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo
wanito!”
“Di dalam kegelapan yang ada hanya lupa, di
dalam keadaan lupa maka akan mudah melakukan tindakan pria dan wanita”.
Membaca
terjemahan dalam bahasa Indonesia, saya tersenyum sendiri. Kegelapan bisa
berarti secara harfiah gelap, ketiadaan cahaya atau penerangan dari lampu.
Sangat umum pada akhirnya jika dua sejoli pria dan wanita berduaan dalam
kegelapan, maka sangat bisa melakukan berbagai tindakan yang biasanya dilakukan
oleh sepasang suami-istri. Tentunya, itu bisa terjadi pada saya dan seorang
perempuan di dalam kegelapan. Hahahaha… !
Kegelapan
juga bisa dimaknai sebagai kebuntuan daya nalar akan sesuatu, masuk dalam suatu
kondisi penuh dengan masalah pelik, seakan tidak ada jalan keluarnya. Pun,
kondisi ini sangat rentan terhadap tindakan yang penuh dengan ‘lupa’.
Namun ada yang menarik jika menyimak untaian
kalimat yang saya kutip dari Ki Dalang di atas. Apa itu?
Sang
Dalang sedang mengurai tentang kisah Resi Wisrawa yang konon sedang ‘lupa’.
Meski para Dewa sudah mewariskan ilmu pamungkas, yakni ‘Sastra Jendra Pangruwating
Diyu’, eh,.. ya ternyata Sang Resi masih juga mendapatkan ‘lupa’. Sehingga
terjadilah ‘kegiatan’ mengasyikan bersama Sang Dewi Sukesi. Meski, konon ‘aib’
tersebut juga tidak lepas dari campur tangan Bhatara Guru dan Dewi Uma,
istrinya.
Seorang
Wisrawa adalah pewaris Ilmu Tertinggi “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating
Diyu”. Ilmu atau ajaran yang konon mampu membuat siapapun dinaikkan derajat
keluhuran budinya, setingkat keluhuran para Dewata. Mampu menguraikan segenap
rahasia semesta. Dan, sangat tidak diperkenankan untuk menguraikan ilmu ini secara sembarangan. Hanya
orang-orang terpilihlah yang diperkenankan. Dan, konon para Dewata memilih seorang anak
manusia yang dinilai layak untuk memwarisi ilmu ini. Ia adalah seorang Resi
yang amat bijaksana. Resi Wisrawa!
Kejadian ‘lupa’ Resi Wisrawa tak lepas dari
kisah sebelumnya. Demi memenuhi permintaan anaknya, Prabu Danareja, untuk dapat
memenangkan sayembara. Siapapun yang mampu mengalahkan Jambumangli, Putra dari paman Dewi Sukesi,
Ditya Maliawan, dan juga mampu membabarkan Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu, maka dialah yang berhak memboyong Dewi Sukesi dan
menjadikannya permaisuri. Itulah dua syarat dyang diminta oleh Dewi Sukesi.
Konon,
Prabu Danaraja ‘angkat tangan’. Tidak mampu
memenuhi dua persyaratan tersebut. Sehingga, meminta bantuan Ayahandanya. Dan,
berhasilah Sang Resi Wisrawa menyelesaikan kedua persyaratan tersebut.
Keberhasilan
Resi Wisrawa, tak lepas dari ke’lupa’an-nya. Pada saat membabarkan Ilmu Sastra
Jendra, terjadilah berbagai peristiwa. Termasuk peristiwa ‘lupa’ bahwa Sang
Resi telah melakukan ‘Masyuk Birahi’ bersama Sang Dewi Sukesi.
Benarkah
Sang Resi ‘Lupa’? Ataukah, ‘Lupa’ itu adalah bagian dari Sastra Jendra
tersebut?
Nyaris
semua penikmat ajaran ‘Kebatinan’, khususnya dari Jawa, sangat mengenal konsep
Sastra Jendra ini. Bertebaran literatur-literatur, baik dalam bentuk buku
ataupun artikel-artikel yang diunggah ke internet. Hampir semuanya memaparkan
dan menarik benang merah yang sama. Di mana ilmu ini adalah ilmu pamungkas
untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Resi
Wisrawa adalah contoh atau Role Model dari ‘Penghayat’ serta ‘pendakwah’ konsep
Sastra Jendra ini. Namun, jika pada akhirnya tolok ukur untuk mengukur
seseorang telah meresapi, menghayati serta berhasil me’laku’kan Sastra Jendra ini adalah sempurnanya ‘laku akhlak’, tentu suatu hal yang
bagi saya cukup aneh adalah “Mengapa
Resi Wisrawa sampai bisa terjerumus dalam ‘Lupa’? “ Bukankah ia adalah Sang Pewaris dan Sang Terpilih dari para Dewata untuk men’dakwah’kan ilmu ini? Tentu
seharusnya para Dewata sudah mampu menilai kualitas dari seorang Wisrawa. Tapi
kenyataannya? Ya, Resi Wisrawa ‘lupa’.
Masuk dalam keasyikan birahi bersama Dewi Sukesi.
Tunggu,
ada hal yang cukup aneh pula. Dimana para Dewata seakan-akan tidak ikhlas jika
ilmu ini dikuasai oleh para manusia. Sebab, jika manusia berhasil menguasainya
maka sempurnalah kehidupan manusia di mata Sang Pencipta. Konon, para dewata
tidak menghendaki hal ini terjadi. Sehingga, pada saat Resi Wisrawa membabarkan
Sastra Jendra kepada Sang Dewi Sukesi, Bhatara Guru dan istrinya, Dewi Uma,
turun dan masuk ke dalam diri Sang Resi dan Dewi Sukesi. Mempengaruhi alam
pikiran kedua insan yang sedang masuk dalam samudera pembabaran Sastra Jendra.
Dan, berhasil! Terjadilah apa yang Ki Dalang sampaikan, “Jroning peteng kang
ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito”.
Keanehan-keanehan
di atas, apakah mempunyai maksud tertentu? Ataukah ada distorsi sejarah pada
penceritaan, baik yang tertulis dalam beberapa kitab lawas, seperti dalam lakon
Arjuno Sastra atau Lokapala, tulisan Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra ?
Ataukah juga di awali oleh distorsi penceritaan secara ‘tutur’ atau dari mulut
ke mulut sebelum akhirnya ditulis oleh kedua tokoh sejarah Jawa tersebut?
Beberapa
keanehan yang saya nyatakan di atas, sedikit dapat terkuak intisarinya setelah
memahami apa yang di sampaikan oleh Bhatara Narada. Bhatara Narada menyampaikan
sebuah ‘wangsit’ yang sangat terkenal dengan ‘Wangsit Sabda Palon’. Bisa jadi
‘wangsit’ ini saya maknai secara berbeda dengan kebanyakan orang. Wangsit ini
pula yang akhirnya menuntun jemari saya untuk memencet kata demi kata,
mengalurkan cerita dengan sudut pandang yang agak berbeda.
Buku
ini adalah sebuah tulisan dengan mengambil seting kehidupan Resi Wisrawa dan
Dewi Sukesi. Namun, tentunya tulisan ini penuh dengan ‘subyektifitas’. Berusaha
menampilkan sudut pandang yang berbeda dengan ‘pakem’ yang biasa ditampilkan
oleh para ‘Dalang’ atau pun serat-serat lama. Tujuannya sederhana, mengambil
setiap hikmah pelajaran dari setiap sisi makna kehidupan, termasuk dari tokoh
yang notabene tercatat dalam sejarah
sebagai manusia yang mempunyai ‘cacat’ dalam laku kehidupannya.
Baiklah,
saya tetap mencoba untuk mengheningkan pikiran, menata perasaaan dan terus
terkoneksi dengan kesadaran ‘hara’ di dalam diri. Semoga terus mendapatkan
kecerahan dalam membuat tulisan ini menjadi semakin ‘hangat’. Tulisan ini
khususnya saya peruntukkan kepada diri pribadi, agar terus bertumbuh menjadi
manusia yang penuh dengan kesadaran akan kemanusiaan. Dan, semoga bermanfaat
untuk semua pembaca.
Rahayu!
Ini adalah Kata Pengantar pada tulisan lengkap saya "Menemukan Kembali Sastra Jendra" yang semoga saja selekasnya dapat menjadi sebuah buku.