1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5

Baru terbit .. Ini Novel Keren Abis!

Siwa Ksatria Wangsa Surya

Bisa Order di SINI!

Very Recent Posts

Kamis, 06 Oktober 2016

Menemukan Kembali Sastra Jendra - Kata Pengantar

Menemukan Kembali Sastra Jendra - Kata Pengantar

Kata Pengantar

“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito!”
Sebuah kalimat yang beberapa kali saya dengar dari para sesepuh. Maupun dari berbagai bacaan, baik berupa buku maupun bacaan yang sengaja saya browsing dari dunia maya.  Kalimat tersebut juga tercetuskan dalam pertunjukkan wayang kulit oleh seorang Dalang Kondang, yaitu Ki Narto Sabdo.  Tentu beliau sangat memahami ‘pakem’ cerita ini beserta seluruh kandungan makna, baik yang tersirat maupun yang tersurat.  Saya bukan Dalang ataupun Anak Dalang yang mumpuni untuk menjabarkan alur dan makna suatu cerita pewayangan dengan ‘fasih’. Saya hanyalah penikmat cerita pewayangan yang begitu sarat dengan kandungan makna kehidupan yang adiluhung. Tak ada salahnya jika saya pun sedikit bercorat-coret menarikan aksara berdasarkan ‘intuisi’ yang keluar dari dalam batin. Tentu ada alur cerita yang saya ‘comot’ dari literatur-literatur yang ada. Namun, ada banyak bagian pula menyajikan sudut pandang yang berbeda dengan ‘pakem’ yang biasa dilakonkan.
“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito!”
 “Di dalam kegelapan yang ada hanya lupa, di dalam keadaan lupa maka akan mudah melakukan tindakan pria dan wanita”.
Membaca terjemahan dalam bahasa Indonesia, saya tersenyum sendiri. Kegelapan bisa berarti secara harfiah gelap, ketiadaan cahaya atau penerangan dari lampu. Sangat umum pada akhirnya jika dua sejoli pria dan wanita berduaan dalam kegelapan, maka sangat bisa melakukan berbagai tindakan yang biasanya dilakukan oleh sepasang suami-istri. Tentunya, itu bisa terjadi pada saya dan seorang perempuan di dalam kegelapan. Hahahaha… !
Kegelapan juga bisa dimaknai sebagai kebuntuan daya nalar akan sesuatu, masuk dalam suatu kondisi penuh dengan masalah pelik, seakan tidak ada jalan keluarnya. Pun, kondisi ini sangat rentan terhadap tindakan yang penuh dengan ‘lupa’.
Namun  ada yang menarik jika menyimak untaian kalimat yang saya kutip dari Ki Dalang di atas. Apa itu?
Sang Dalang sedang mengurai tentang kisah Resi Wisrawa yang konon sedang ‘lupa’. Meski para Dewa sudah mewariskan ilmu pamungkas, yakni ‘Sastra Jendra Pangruwating Diyu’, eh,.. ya ternyata Sang Resi masih juga mendapatkan ‘lupa’. Sehingga terjadilah ‘kegiatan’ mengasyikan bersama Sang Dewi Sukesi. Meski, konon ‘aib’ tersebut juga tidak lepas dari campur tangan Bhatara Guru dan Dewi Uma, istrinya.
Seorang Wisrawa adalah pewaris Ilmu Tertinggi “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”. Ilmu atau ajaran yang konon mampu membuat siapapun dinaikkan derajat keluhuran budinya, setingkat keluhuran para Dewata. Mampu menguraikan segenap rahasia semesta. Dan, sangat tidak diperkenankan untuk  menguraikan ilmu ini secara sembarangan. Hanya orang-orang terpilihlah yang diperkenankan.  Dan, konon para Dewata memilih seorang anak manusia yang dinilai layak untuk memwarisi ilmu ini. Ia adalah seorang Resi yang amat bijaksana. Resi Wisrawa!
 Kejadian ‘lupa’ Resi Wisrawa tak lepas dari kisah sebelumnya. Demi memenuhi permintaan anaknya, Prabu Danareja, untuk dapat memenangkan sayembara. Siapapun yang mampu mengalahkan  Jambumangli, Putra dari paman Dewi Sukesi, Ditya Maliawan, dan juga mampu membabarkan Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, maka dialah yang berhak memboyong Dewi Sukesi dan menjadikannya permaisuri. Itulah dua syarat dyang diminta oleh Dewi Sukesi.
Konon, Prabu Danaraja ‘angkat  tangan’. Tidak mampu memenuhi dua persyaratan tersebut. Sehingga, meminta bantuan Ayahandanya. Dan, berhasilah Sang Resi Wisrawa menyelesaikan kedua persyaratan tersebut.
Keberhasilan Resi Wisrawa, tak lepas dari ke’lupa’an-nya. Pada saat membabarkan Ilmu Sastra Jendra, terjadilah berbagai peristiwa. Termasuk peristiwa ‘lupa’ bahwa Sang Resi telah melakukan ‘Masyuk Birahi’ bersama Sang Dewi Sukesi.
Benarkah Sang Resi ‘Lupa’? Ataukah, ‘Lupa’ itu adalah bagian dari Sastra Jendra tersebut?
Nyaris semua penikmat ajaran ‘Kebatinan’, khususnya dari Jawa, sangat mengenal konsep Sastra Jendra ini. Bertebaran literatur-literatur, baik dalam bentuk buku ataupun artikel-artikel yang diunggah ke internet. Hampir semuanya memaparkan dan menarik benang merah yang sama. Di mana ilmu ini adalah ilmu pamungkas untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Resi Wisrawa adalah contoh atau Role Model dari ‘Penghayat’ serta ‘pendakwah’ konsep Sastra Jendra ini. Namun, jika pada akhirnya tolok ukur untuk mengukur seseorang telah meresapi, menghayati serta berhasil me’laku’kan Sastra Jendra ini adalah sempurnanya ‘laku akhlak’, tentu suatu hal yang bagi saya cukup aneh adalah “Mengapa Resi Wisrawa sampai bisa terjerumus dalam ‘Lupa’? “ Bukankah ia adalah Sang Pewaris dan Sang Terpilih dari para Dewata untuk men’dakwah’kan ilmu ini? Tentu seharusnya para Dewata sudah mampu menilai kualitas dari seorang Wisrawa. Tapi kenyataannya? Ya, Resi Wisrawa ‘lupa’. Masuk dalam keasyikan birahi bersama Dewi Sukesi.
Tunggu, ada hal yang cukup aneh pula. Dimana para Dewata seakan-akan tidak ikhlas jika ilmu ini dikuasai oleh para manusia. Sebab, jika manusia berhasil menguasainya maka sempurnalah kehidupan manusia di mata Sang Pencipta. Konon, para dewata tidak menghendaki hal ini terjadi. Sehingga, pada saat Resi Wisrawa membabarkan Sastra Jendra kepada Sang Dewi Sukesi, Bhatara Guru dan istrinya, Dewi Uma, turun dan masuk ke dalam diri Sang Resi dan Dewi Sukesi. Mempengaruhi alam pikiran kedua insan yang sedang masuk dalam samudera pembabaran Sastra Jendra. Dan, berhasil! Terjadilah apa yang Ki Dalang sampaikan, “Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito”.
Keanehan-keanehan di atas, apakah mempunyai maksud tertentu? Ataukah ada distorsi sejarah pada penceritaan, baik yang tertulis dalam beberapa kitab lawas, seperti dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala, tulisan Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra ? Ataukah juga di awali oleh distorsi penceritaan secara ‘tutur’ atau dari mulut ke mulut sebelum akhirnya ditulis oleh kedua tokoh sejarah Jawa tersebut?
Beberapa keanehan yang saya nyatakan di atas, sedikit dapat terkuak intisarinya setelah memahami apa yang di sampaikan oleh Bhatara Narada. Bhatara Narada menyampaikan sebuah ‘wangsit’ yang sangat terkenal dengan ‘Wangsit Sabda Palon’. Bisa jadi ‘wangsit’ ini saya maknai secara berbeda dengan kebanyakan orang. Wangsit ini pula yang akhirnya menuntun jemari saya untuk memencet kata demi kata, mengalurkan cerita dengan sudut pandang yang agak berbeda.
Buku ini adalah sebuah tulisan dengan mengambil seting kehidupan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Namun, tentunya tulisan ini penuh dengan ‘subyektifitas’. Berusaha menampilkan sudut pandang yang berbeda dengan ‘pakem’ yang biasa ditampilkan oleh para ‘Dalang’ atau pun serat-serat lama. Tujuannya sederhana, mengambil setiap hikmah pelajaran dari setiap sisi makna kehidupan, termasuk dari tokoh yang notabene  tercatat dalam sejarah sebagai manusia yang mempunyai ‘cacat’ dalam laku kehidupannya. 
Baiklah, saya tetap mencoba untuk mengheningkan pikiran, menata perasaaan dan terus terkoneksi dengan kesadaran ‘hara’ di dalam diri. Semoga terus mendapatkan kecerahan dalam membuat tulisan ini menjadi semakin ‘hangat’. Tulisan ini khususnya saya peruntukkan kepada diri pribadi, agar terus bertumbuh menjadi manusia yang penuh dengan kesadaran akan kemanusiaan. Dan, semoga bermanfaat untuk semua pembaca.
Rahayu!

Ini adalah Kata Pengantar pada tulisan lengkap saya "Menemukan Kembali Sastra Jendra" yang semoga saja selekasnya dapat menjadi sebuah buku.

Selasa, 04 Oktober 2016

Pentingkah sebuah Kompetisi?

Pentingkah sebuah Kompetisi?

Pentingkah sebuah Kompetisi?
“Wah, Mas Eko… awalnya saya sangat tertarik untuk juga jualan buku di Fesbuk. Lihat Mas Eko begitu laris, nyaris semua buku yang ditawarkan di Efbe dapat respon yang bagus dari temen-temen Mas Eko, saya pikir memang jualan buku itu gampang,.. ! “
“Lalu, … kenapa, Mas? Awalnya tertarik.. Saat ini? “
“Saya mulai searching di FB dan google, eh ternyata yang jualan buku onlen itu buanyak banget, Mas! Gilaaa… Saya keder, dong! Jelas saya terlambat untuk memulainya saat ini. Harus bisa berkompetisi dengan penjual buku onlen lain yang sudah seabrek! “
“Ngene lho Mas,… Eh, gini lho Mas .. hiihihihi… pada prinsipnya saya ndak ada urusan ‘sampeyan’ itu mau usaha apapun. Mau jalan atau lari itu juga bukan urusan saya..hahahaha… Tapi, kalau berbicara tentang kompetisi atau persaingan,… saya sedikit punya ilustrasi pemikiran yang agak berbeda”
“Gimana itu, Mas Eko?”
“Ini saya pernah nulis tentang kompetisi, … monggo dibaca pelan-pelan.. kalau mau itu juga :p  “
………………………………………………………………………………………
Setiap sesuatu yang mewujud secara lahiriah, nampak fisik dan mempunyai kehidupan, termasuk kita yang terlahir sebagai manusia, sudah tentu mempunyai sebuah ‘kebutuhan’ dasar agar piranti fisik dan mental kita bisa terus bertumbuh. Saya dan Anda lahir sebagai bagian dari peradaban bumi, mau tidak mau akan menginjakkan diri pada sebuah ‘sistem’ yang sedang berlangsung. Baik sistem di luar diri kita maupun sistem internal diri kita. Pada kondisi paling dasar, setiap makhluk hidup pasti mempunyai sistem masing-masing yang dikenal dengan “Bertahan Hidup”.
“Bertahan Hidup” adalah seni, itu pendapat saya. Mengapa? Karena tidak ada metode baku yang bisa disamakan antara satu entitas dengan entitas yang lain. Masing-masing mempunyai ‘kode’ bawaan yang sudah diinstal dan mengalami perkembangan atau pertumbuhan selaras dengan pengalaman dalam kehidupannya.
Ada macam-macam seni Bertahan Hidup. Ada yang mencoba fleksibel dengan setiap situasi. Tidak kaku terhadap situasi yang ada, tanpa berusaha mengalahkan atau bahkan meniadakan yang lain. Namun, ada juga yang ber’seni’ dengan selalu ‘meniadakan’ atau menghancurkan setiap sistem yang menghalangi keberadaan sistemnya.
Pada konteks usaha apapun, sangat dimungkinkan ada juga pelaku-pelaku usaha yang memiliki varian produk yang nyaris sama atau mungkin sama persis dengan yang kita punyai. Lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah harus ‘menghilangkan’ pelaku usaha yang lain dahulu baru kemudian kita mulai jalankan usaha kita? Atau, kita jalankan usaha kita dengan penuh elegan dan beradaptasi dengan segala kemungkinan bentuk kompetisi yang ada?
Apa sebenarnya Kompetisi itu?
Bisa jadi kompetisi bagi sebagian besar dari kita memaknai sebagai suatu usaha untuk melakukan sesuatu dalam rangka bersaing dengan pihak lain karena suatu bentuk ‘ketakutan’ akan tertinggal kepentingannya atau bahkan terancam keberlangsungan eksistensinya. Eksistensi yang dimaksud bisa saja menyangkut tentang usaha atau bisnis yang dijalankan.
Lalu, adakah bentuk kompetisi yang bukan dilandasi oleh ‘Ketakutan’ atau ‘Kekhawatiran’ ?
Jika kita mengamati pola pengembangan bisnis dari para pelaku usaha yang akhirnya ‘mapan’, baik secara ‘Brand’ ataupun pencapaian hasil bisnisnya, maka satu kata kunci yang penting untuk kita sematkan kepada mereka adalah ‘Inovasi’. Yups, inovasi. Inovasi adalah suatu usaha untuk terus bertumbuh. Menggunakan cara-cara baru, memproduksi varian produk baru, terobosan manajemen yang lebih baik, penggunaan sistem marketing yang lebih efektif, dan sebagainya.
Kadangkala kita memaknai proses inovasi yang dilakukan oleh seorang pelaku bisnis sebagai bentuk usaha ‘menyaingi’ pebisnis lain yang mempunyai karakter bisnis atau produk yang sejenis. Namun, bisa jadi, inovasi yang dilakukan adalah hasil kreativitas yang selalu coba diterapkan, tanpa harus memandang apa yang sedang dilakukan oleh pengusaha lainnya. Inovasi adalah salah satu bentuk ‘pertumbuhan’ yang seharusnya terus dilakukan oleh setiap pengusaha.
Jika kita ke pasar tradisional, dan masuk ke dalam deretan lapak penjual sayur, maka kita seketika kita akan mengetahui bahwa dalam waktu yang sama, di tempat yang sama, sedang berlangsung kegiatan jual-beli SAYUR oleh lebih dari satu pedagang. Komoditi sayur adalah komoditi yang menyatukan mereka dalam satu area jual-beli tersebut.
Tanpa harus bicara tentang kompetisi, setiap penjual sayur sudah pasti akan berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada para pembelinya. Baik dari sisi kualitas sayur ataupun bentuk keramahan dalam melayani. Dari sisi harga yang diberikan, secara umum mereka akan memberlakukan standar harga yang relative sama dengan semua pedagang sayur yang lain. Jadi, yang mereka lakukan adalah bentuk-bentuk inovasi dalam penyediaan produk atau pelayanan yang lain.
Biarkan ‘Kompetisi’ hanya hadir di dalam kamus.
Kreativitas untuk selalu bertumbuh, berbagai bentuk inovasi di lahirkan, adalah sebuah hal yang justru alamiah untuk dilakukan oleh setiap pengusaha. Tak terlepas dari saya, kita dan Anda semua yang saat ini sedang berbisnis online. ‘Kompetisi’ hadir hanya di dalam ruang pemaknaan pikiran kita. Jika ruang berpikir kita tidak diselimuti oleh ‘ketakutan’, maka ‘Kompetisi’ hanya hadir di dalam kamus saja! :p
Sudah wajar jika pada akhirnya saya, Anda dan kita terlibas dalam proses perkembangan usaha apabila dalam memainkannya selalu stagnan dan tidak pernah melakukan apapun, tidak mengikuti naluri bertumbuhnya usaha. Ini bukan karena kita kalah dalam berkompetisi, namun lebih pada matinya kreativitas untuk melakukan inovasi.
………………………………………………………………………………………
“Wah,… setelah baca tulisan itu,.. saya koq.. hmmm,.. tetap males ya mau jualan buku onlen lagi..  :(  “
“ :p Orang males itu ndak ada lawannya mas.. wkwkwk :v “
Pentingkah sebuah “Sales Letter” yang bagus dalam beriklan?

Pentingkah sebuah “Sales Letter” yang bagus dalam beriklan?

Judul di atas muncul begitu saja dalam pikiran ini, lalu coba untuk membuat tulisan yang berhubungan dengan hal tersebut. Iseng-iseng googling pingin liat apa sih arti dari “Sales Letter”?
“Sales letter merupakan sistem yang berupa tulisan pada website yang bertugas untuk mempresentasikan produk anda kepada pengunjung sebaik mungkin sehingga mereka memutuskan untuk membeli produk anda. Karena sales letter bertugas mempresentasikan produk kita. Maka kita harus mendesainnya untuk sebaik mungkin dapat menarik hati konsumen. Sehingga akhirnya mereka mau memutuskan untuk membeli produk kita. Ingat!, sebagus apapun produk anda nantinya, jika sales letter anda "payah" maka konsumen tidak akan pernah tahu manfaat yang diperoleh dari produk anda. Oleh karena itu jika anda menulis sales letter, berpikirlah dari sudut pandang konsumen. Karena dengan begitu mereka akan tahu manfaat terbesar setelah memiliki produk anda. Sales letter menjadi penentu seberapa banyak pengunjung yang akan membeli produk anda dari 1000 orang pengunjung misalnya. Oleh karena itu sales letter harus kita desain agar menampilkan manfaat terbesar yang mereka peroleh setelah memiliki produk anda. “ (http://hedisasrawan.blogspot.co.id/2011/07/pengertian-sales-letter.html )
Dan, dapet !
Yups, pengertian “Sales Letter” di atas di maksudkan pada pemasaran menggunakan media promosi berupa website. 100% saya setuju dan memang haruslah demikian dalam kerangka pengertian dan tujuan dari sebuah “Sales Letter”. Kerangka awal yang harus dibangun adalah menciptakan suatu wacana yang “MENARIK” yang dituangkan dalam sebuah tulisan ( iklan ), sehingga membuat pembaca ‘iklan’ tersebut setidaknya menuntaskan membaca keseluruhan dari tulisan iklan tersebut.
Dalam hal ini saya pun masih belajar. Saya masih sangat “HIJAU!”, sebab menggunakan media website berbayar untuk berpromosi juga masih beberapa hari.
Namun, apakah sebuah “Sales Letter” pada akhirnya menjadi tolak ukur keberhasilan dalam membangun jaringan pelanggan?
Menurut saya, Sales Letter sangat diperlukan apabila kita mempunyai varian produk yang tidak terlalu banyak. Bisa jadi hanya mempunyai 1 atau 2 item produk, baik berupa barang atau jasa yang ingin dijual kepada calon konsumen. Kekuatan dari Sales Letter akan sangat mempengaruhi keputusan calon konsumen untuk membeli produk tersebut.
Misalnya, saya hanya menjual 1 (satu) item judul buku. Taruhlah, saya hanya menjual buku “JURUS JEMPOL SAKTI” saja pada website ini, maka mau tidak mau saya harus membuat suatu “Sales Letter’ yang sangat powerfull agar semua sisi ‘kehebatan’ buku ini bisa tereksplorasi dalam bahasa promosi. Yup, mau tidak mau itu harus dilakukan. Sebab, setiap pengunjung website ini bisa muncul dari berbagai tempat dan berbagai latar belakang. Tidak semua tertarik dengan jenis buku yang saya tawarkan. Namun, dengan kekuatan “Sales Letter’ yang yahud, maka bisa jadi bisa membalikkan ketiadaan minat menjadi sebuah keputusan membeli karena ‘terhipnosis’ dengan tulisan promosi yang pada akhirnya mengarahkan ruang nalar pembaca, bahwa buku ini sangat bermanfaat. Setidaknya tidak hari ini, bisa saja bermanfaat untuk kemudian hari!
Lalu, jika kita mempunyai varian produk yang cukup banyak, misalnya sampai ratusan item bahkan ribuan item, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus membuat ‘Sales Letter’ yang hebat untuk setiap item produk tersebut?
Apabila kita mempunyai kemampuan untuk hal tersebut, maka akan menjadi suatu nilai tambah sendiri. Amat sangat bagus untuk dilakukan. Jika tidak, apa yang harus kita lakukan?
“Dekatkan produk kita kepada individu atau komunitas yang MEMBUTUHKAN!”
Satu hal sederhana yang coba saya lakukan, karena menyadari kemampuan ‘Sales Letter’ saya kurang bagus, adalah dengan mendekatkan produk saya kepada invidu atau komunitas yang kita nilai memang membutuhkan produk tersebut. Sisi positif lainnya adalah, produk kita akan diberikan apresiasi dan nilai transaksi yang bagus.
Contoh sederhana adalah saya mempunyai website ini yang berisi beragam item jenis buku. Dengan “Sales Letter” yang ala kadarnya, saya coba dekatkan kepada komunitas yang saya nilai ‘MEMBUTUHKAN”. Caranya? Yups, saya dekatkan produk buku di website ini dengan grup-grup di Media Sosial. Artinya, sebelum hal ini saya lakukan, saya harus memetakan grup-grup yang berisi komunitas dengan ‘pokok bahasan’ spesifik mengenai sesuatu ‘IDE’. Tentunya ‘ide’ dalam pembahasan komunitas tersebut selalu saja membutuhkan banyak referensi. Di sinilah saya mencoba masuk.
Jika saya adalah penjual BATU AKIK dan memiliki sebuah website, akan sangat luar biasa berguna kemampuan “Sales Letter” saya, sembari didukung oleh sebuah komunitas yang secara ‘MINAT’ memang searah dengan produk yang sedang kita promosikan. Harapannya jelas, semoga gayung bersambut. Terdapat produk dan terdapat calon konsumen berupa komunitas yang jelas mempunyai pemahaman tentang BATU AKIK. “TANPA” sebuah ‘Sales Letter’ yang bagus pun, setidaknya saat kita menampilkan suatu produk berupa “BATU AKIK” dengan data yang lengkap dan kualitas yang bagus, maka kemungkinan terjadi interaksi dengan calon konsumen kemungkinan besar bisa terjadi. Kemampuan dalam menjawab setiap pertanyaan seputar BATU AKIK akan menjadi sisi plus yang akan memperbesar peluang terjadinya transaksi.
Dan, saya cuek saja dengan iklan yang saya posting di dinding Facebook saya, terkadang banyak iklan buku yang saya posting apa adanya. Mengapa?
Karena jauh-jauh hari saya sudah melakukan berbagai upaya agar jaringan pertemanan saya di Facebook akan terisi oleh sebagian besar orang yang tertarik dengan suatu “IDE” yang selaras dengan genre buku-buku yang saya promosikan.
Kalimat terakhir adalah salah satu “Kunci” yang saya terapkan, juga saya sedikit banyak bahas di buku “JURUS JEMPOL SAKTI”. Dan, pada akhirnya siapapun Anda, punya kemampuan Sales Letter yang bagus atau tidak, jangan pernah khawatir untuk memulai menjadi entrepreneur online. Asal kita tahu, produk kita siapa yang membutuhkannya!

Semoga bermanfaat _/|\_
 ~ Eko Waluyo~