Kamis, 06 Oktober 2016

Menemukan Kembali Sastra Jendra - Kata Pengantar

Kata Pengantar

“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito!”
Sebuah kalimat yang beberapa kali saya dengar dari para sesepuh. Maupun dari berbagai bacaan, baik berupa buku maupun bacaan yang sengaja saya browsing dari dunia maya.  Kalimat tersebut juga tercetuskan dalam pertunjukkan wayang kulit oleh seorang Dalang Kondang, yaitu Ki Narto Sabdo.  Tentu beliau sangat memahami ‘pakem’ cerita ini beserta seluruh kandungan makna, baik yang tersirat maupun yang tersurat.  Saya bukan Dalang ataupun Anak Dalang yang mumpuni untuk menjabarkan alur dan makna suatu cerita pewayangan dengan ‘fasih’. Saya hanyalah penikmat cerita pewayangan yang begitu sarat dengan kandungan makna kehidupan yang adiluhung. Tak ada salahnya jika saya pun sedikit bercorat-coret menarikan aksara berdasarkan ‘intuisi’ yang keluar dari dalam batin. Tentu ada alur cerita yang saya ‘comot’ dari literatur-literatur yang ada. Namun, ada banyak bagian pula menyajikan sudut pandang yang berbeda dengan ‘pakem’ yang biasa dilakonkan.
“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito!”
 “Di dalam kegelapan yang ada hanya lupa, di dalam keadaan lupa maka akan mudah melakukan tindakan pria dan wanita”.
Membaca terjemahan dalam bahasa Indonesia, saya tersenyum sendiri. Kegelapan bisa berarti secara harfiah gelap, ketiadaan cahaya atau penerangan dari lampu. Sangat umum pada akhirnya jika dua sejoli pria dan wanita berduaan dalam kegelapan, maka sangat bisa melakukan berbagai tindakan yang biasanya dilakukan oleh sepasang suami-istri. Tentunya, itu bisa terjadi pada saya dan seorang perempuan di dalam kegelapan. Hahahaha… !
Kegelapan juga bisa dimaknai sebagai kebuntuan daya nalar akan sesuatu, masuk dalam suatu kondisi penuh dengan masalah pelik, seakan tidak ada jalan keluarnya. Pun, kondisi ini sangat rentan terhadap tindakan yang penuh dengan ‘lupa’.
Namun  ada yang menarik jika menyimak untaian kalimat yang saya kutip dari Ki Dalang di atas. Apa itu?
Sang Dalang sedang mengurai tentang kisah Resi Wisrawa yang konon sedang ‘lupa’. Meski para Dewa sudah mewariskan ilmu pamungkas, yakni ‘Sastra Jendra Pangruwating Diyu’, eh,.. ya ternyata Sang Resi masih juga mendapatkan ‘lupa’. Sehingga terjadilah ‘kegiatan’ mengasyikan bersama Sang Dewi Sukesi. Meski, konon ‘aib’ tersebut juga tidak lepas dari campur tangan Bhatara Guru dan Dewi Uma, istrinya.
Seorang Wisrawa adalah pewaris Ilmu Tertinggi “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”. Ilmu atau ajaran yang konon mampu membuat siapapun dinaikkan derajat keluhuran budinya, setingkat keluhuran para Dewata. Mampu menguraikan segenap rahasia semesta. Dan, sangat tidak diperkenankan untuk  menguraikan ilmu ini secara sembarangan. Hanya orang-orang terpilihlah yang diperkenankan.  Dan, konon para Dewata memilih seorang anak manusia yang dinilai layak untuk memwarisi ilmu ini. Ia adalah seorang Resi yang amat bijaksana. Resi Wisrawa!
 Kejadian ‘lupa’ Resi Wisrawa tak lepas dari kisah sebelumnya. Demi memenuhi permintaan anaknya, Prabu Danareja, untuk dapat memenangkan sayembara. Siapapun yang mampu mengalahkan  Jambumangli, Putra dari paman Dewi Sukesi, Ditya Maliawan, dan juga mampu membabarkan Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, maka dialah yang berhak memboyong Dewi Sukesi dan menjadikannya permaisuri. Itulah dua syarat dyang diminta oleh Dewi Sukesi.
Konon, Prabu Danaraja ‘angkat  tangan’. Tidak mampu memenuhi dua persyaratan tersebut. Sehingga, meminta bantuan Ayahandanya. Dan, berhasilah Sang Resi Wisrawa menyelesaikan kedua persyaratan tersebut.
Keberhasilan Resi Wisrawa, tak lepas dari ke’lupa’an-nya. Pada saat membabarkan Ilmu Sastra Jendra, terjadilah berbagai peristiwa. Termasuk peristiwa ‘lupa’ bahwa Sang Resi telah melakukan ‘Masyuk Birahi’ bersama Sang Dewi Sukesi.
Benarkah Sang Resi ‘Lupa’? Ataukah, ‘Lupa’ itu adalah bagian dari Sastra Jendra tersebut?
Nyaris semua penikmat ajaran ‘Kebatinan’, khususnya dari Jawa, sangat mengenal konsep Sastra Jendra ini. Bertebaran literatur-literatur, baik dalam bentuk buku ataupun artikel-artikel yang diunggah ke internet. Hampir semuanya memaparkan dan menarik benang merah yang sama. Di mana ilmu ini adalah ilmu pamungkas untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Resi Wisrawa adalah contoh atau Role Model dari ‘Penghayat’ serta ‘pendakwah’ konsep Sastra Jendra ini. Namun, jika pada akhirnya tolok ukur untuk mengukur seseorang telah meresapi, menghayati serta berhasil me’laku’kan Sastra Jendra ini adalah sempurnanya ‘laku akhlak’, tentu suatu hal yang bagi saya cukup aneh adalah “Mengapa Resi Wisrawa sampai bisa terjerumus dalam ‘Lupa’? “ Bukankah ia adalah Sang Pewaris dan Sang Terpilih dari para Dewata untuk men’dakwah’kan ilmu ini? Tentu seharusnya para Dewata sudah mampu menilai kualitas dari seorang Wisrawa. Tapi kenyataannya? Ya, Resi Wisrawa ‘lupa’. Masuk dalam keasyikan birahi bersama Dewi Sukesi.
Tunggu, ada hal yang cukup aneh pula. Dimana para Dewata seakan-akan tidak ikhlas jika ilmu ini dikuasai oleh para manusia. Sebab, jika manusia berhasil menguasainya maka sempurnalah kehidupan manusia di mata Sang Pencipta. Konon, para dewata tidak menghendaki hal ini terjadi. Sehingga, pada saat Resi Wisrawa membabarkan Sastra Jendra kepada Sang Dewi Sukesi, Bhatara Guru dan istrinya, Dewi Uma, turun dan masuk ke dalam diri Sang Resi dan Dewi Sukesi. Mempengaruhi alam pikiran kedua insan yang sedang masuk dalam samudera pembabaran Sastra Jendra. Dan, berhasil! Terjadilah apa yang Ki Dalang sampaikan, “Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito”.
Keanehan-keanehan di atas, apakah mempunyai maksud tertentu? Ataukah ada distorsi sejarah pada penceritaan, baik yang tertulis dalam beberapa kitab lawas, seperti dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala, tulisan Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra ? Ataukah juga di awali oleh distorsi penceritaan secara ‘tutur’ atau dari mulut ke mulut sebelum akhirnya ditulis oleh kedua tokoh sejarah Jawa tersebut?
Beberapa keanehan yang saya nyatakan di atas, sedikit dapat terkuak intisarinya setelah memahami apa yang di sampaikan oleh Bhatara Narada. Bhatara Narada menyampaikan sebuah ‘wangsit’ yang sangat terkenal dengan ‘Wangsit Sabda Palon’. Bisa jadi ‘wangsit’ ini saya maknai secara berbeda dengan kebanyakan orang. Wangsit ini pula yang akhirnya menuntun jemari saya untuk memencet kata demi kata, mengalurkan cerita dengan sudut pandang yang agak berbeda.
Buku ini adalah sebuah tulisan dengan mengambil seting kehidupan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Namun, tentunya tulisan ini penuh dengan ‘subyektifitas’. Berusaha menampilkan sudut pandang yang berbeda dengan ‘pakem’ yang biasa ditampilkan oleh para ‘Dalang’ atau pun serat-serat lama. Tujuannya sederhana, mengambil setiap hikmah pelajaran dari setiap sisi makna kehidupan, termasuk dari tokoh yang notabene  tercatat dalam sejarah sebagai manusia yang mempunyai ‘cacat’ dalam laku kehidupannya. 
Baiklah, saya tetap mencoba untuk mengheningkan pikiran, menata perasaaan dan terus terkoneksi dengan kesadaran ‘hara’ di dalam diri. Semoga terus mendapatkan kecerahan dalam membuat tulisan ini menjadi semakin ‘hangat’. Tulisan ini khususnya saya peruntukkan kepada diri pribadi, agar terus bertumbuh menjadi manusia yang penuh dengan kesadaran akan kemanusiaan. Dan, semoga bermanfaat untuk semua pembaca.
Rahayu!

Ini adalah Kata Pengantar pada tulisan lengkap saya "Menemukan Kembali Sastra Jendra" yang semoga saja selekasnya dapat menjadi sebuah buku.

SHARE THIS

Author:

Facebook Comment

1 komentar:

  1. Best slots at Betfair Casino - JtmHub
    The Betfair Casino 청주 출장마사지 Hotel Casino 의왕 출장샵 is a modern hotel and casino located near the centre 거제 출장안마 of Dublin, Ireland. 오산 출장안마 It is a must visit when you visit the 밀양 출장마사지 casino!

    BalasHapus