Selasa, 04 Oktober 2016

Terimakasih, Rumi …

"Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu pada "Suatu Ruang Murni" tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah".  ( Rumi )
Copy paste satu quote dari seorang Rumi ini, sedari pagi hanya kupandangi saja. Hanya dibaca. Satu aksara pun belum berhasil jejari ini mengetikan aksara pada tuts keyboard. Betul-betul blank. Kosong. Hanya menatapnya saja.
Baru mulai menggapai tuts keyboard PC lepas mandi sore ini. Membaca lagi larikan kata-demi-kata. Nampaknya belum bisa juga aku terkoneksi dengan ‘Ruh’ seorang Rumi, agar fatwa universal di atas bisa sedikit aku urai menjadi bulir-bulir pemahaman yang sederhana.
Nampaknya aku harus menggunakan anak tangga untuk bisa menggapai ketinggian hikmah Rumi. Anak tangga? Baiklah. Sejenak aku akan ber-hening.
Jam di monitor PC-ku menunjukkan pukul 12:53 malam. Sekian paragraph di atas kubiarkan terbengkalai sedari siang. Selain banyak yang harus dilakukan demi ‘perut’ keluarga, juga belum juga menetes aliran cahaya ‘pencerahan’ yang bisa terterakan. Seperti biasanya, makin nikmat tatkala menulis sambil mengepulkan sebatang rokok kesukaan.
Sore tadi jalan bareng istri tercinta. Ya, seperti biasanya layaknya pengantin baru. Istri selalu memeluk erat dari belakang. Sambil menikmati sedikit rintik hujan bersama laju sepeda motor yang melaju sedang. Sambil selalu memperhatikan suasana jalanan, kupingku tak lepas dari suara indah yang ‘nyerocos’ tiap kali istri aku bonceng. Memperhatikan jalanan sambil menikmati curhat atau sekedar menceritakan masa-masa kecil atau masa sekolahnya.
“Pah,… tahu nggak? Pas reuni sekolah 3 tahun kemarin, seperti biasalah.. ketemu sama temen-temen lama. Eh, ada cowok yang dulu pas sekolah pendiem banget, ternyata pas reuni begitu aktif menggoda. Busyet dah! Diiming-imingi ini itu. Mau dibeliin ini itu. Lama-lama tahu juga udang di balik batunya. Abis reunian, sering telpon-telpon. Jiaah,.. pokoknya selangit gombalannya. Padahal semua juga tahu kalau dia udah punya anak istri. Memang sih, waktu itu mami masih sendiri. Sebelum ketemu papa, semua temen mami yang dulu baik kayak sahabat, sepeninggal papanya anak-anak, ketahuan deh belangnya! Semua mulai mendekat dan ngemeng suka!”.
“Terus?”
“Ya itu tadi,… mami kan bête!”
“Bete apa suka?”
“Ihh, papa! Kan dah bilang kalau mami bisa baik sama semua orang. Bisa remeh temeh pada siapa aja. Tapi, kalau urusan suka secara asmara, lain lagi lah… Lagian, ituh temen mami yang satu lagi.. namanya Wawang.. hmm.. salah satu Kapolda di Sumatra sono.. selalu ngingetin, kalau kudu ati-ati sama temen yang satu itu! Mami cerita sama Wawang kalau mami nggak mau di kasih duit, meski dalihnya buat anak-anak. Kalau dari Wawang sih.. selalu mami terima. Dia baik,.. dia perhatian sejak masih sekolah….”
Istriku terus berkicau sepanjang perjalanan kami. Sedikit aku kencangkan laju motor. Bukan karena ingin sampai. Tapi ada sesuatu yang aku rasakan kurang nyaman. Muncul reaksi kimia dalam tubuh yang bisa jadi disebabkan oleh beberapa kalimat dari istriku. Beberapa enzim tubuhku kayaknya saling bersikutan. Muncul sedikit ketegangan di kepala. Ya, rasanya agak kaku.
Sedikit teringat yang aku tuliskan tadi pagi. Eh, aku copy paste dari seorang Rumi.
“Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu pada "Suatu Ruang Murni" tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah”.  ( Rumi )
Nasrani, Yahudi, Majusi, Islam… atau apapun label ‘Agama’ seseorang, label Agama-ku, di mana setiap label tersebut berisi tentang ‘Knowing’ atau pemahaman seseorang, bagi umat yang mengikutinya, sosok tersebut biasa disebut sebagai Nabi, Avatar, Juru Selamat, dan masih banyak lagi sebutan untuknya. Beliau-beliau ini ‘mempersepsikan’ sesuatu yang diperolehnya secara batiniah, kemudian di sharingkan kepada sahabat dan lingkungannya. Beda sosok, ternyata bisa beda ‘persepsi’. Namun, sedikit menarik benang merah dari semua sosok tersebut adalah sisi Kebijaksanaan yang dimilikinya. Selalu saja menyesuaikan dengan segala kondisi yang ada. Mereka harus secara pelan memunculkan ‘persepsi’nya disesuaikan dengan tingkat peradaban kaumnya. Meski tak jarang diantara mereka, baru mulai disanjung-sanjung setelah kepergiannya sekian ratus tahun kemudian.
Sebenarnya tidak ada keterkaitan secara mendasar, antara kondisi ketidaknyamanan badan dan perasaan ini akibat mendengar beberapa cuitan istri, jika dikaitkan dengan ‘pesan agung’ seorang Rumi. Namun, sedikit yang menjadi titik perhatianku adalah“Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu pada "Suatu Ruang Murni" tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah”.
Ya, aku terjebak dalam ‘label’ persepsi. Persepsi atas curhat yang disampaikan oleh istriku. Muncul kekhawatiran.
“Jangan-jangan,.. istriku masih berhubungan baik dengan orang yang dia bilang baik, perhatian..! “
Aku masuk dalam chaos pikiran sendiri. Ya, sempat larut. Aku mengamati jika pikiranku larut dalam ‘pikiran’ lain yang sedang mencoba muncul dengan eksistensinya. Bahwa ia ada dan ingin hadir. Terpicu oleh beberapa kata yang terlontar dari mulut istriku.
Aku diam beberapa waktu sesampai di rumah. Merebahkan badan sejenak. Mengamati kembali setiap lintasan pikiran, termasuk semua ‘Chaos’ yang sedang eksis.
Lau beranjak bangun. Dan mengikuti hasrat ingin bertanya. Bertanya tentang kegalauanku pada istriku.
Ia sedang menonton televise. Biasa, drama Korea adalah kesukaannya. Ia begitu menikmati tontonan ini. Aku mendekatinya. Tak ada kata-kata yang terucap, ternyata!.
“Mami, Papa sayang Mami…”
Pelukan itu terasa nyaman namun hening. Entahlah. Aku tak bisa mengungkapkannya.
“Terimakasih, Rumi … _/|\_ “

Eko Waluyo ~ 

SHARE THIS

Author:

Facebook Comment

0 komentar: