Selasa, 04 Oktober 2016

Tarot dan Pikiran

Tarot dan Pikiran

“Mbak, .. saya bukan dukun lho yaa ! Sayang ‘ming’ mbaca dari kartu tarot yang keluar”

Itu kalimat pertama yang saya ucapkan tatkala seorang perempuan dengan tiga anak meminta tolong agar saya membacakan tarot untuknya. Sebuah permintaan yang umum, membaca apa yang terjadi dengan rumah tangganya melalui media kartu tarot.

Perempuan ini kebetulan adalah sahabat istri saya. Mereka nyaris sepuluh tahunan ‘runtang-runtung’ bareng mengerjakan tugas kantor. Ya, saya mengenal keduanya sebagai para Srikandi keluarga. Seperti istri saya sebelum saya nikahi, juga harus rela berangkat pagi pulang malam untuk menghidupi kedua anaknya sendirian. Bersyukur, saat ini kami menikmati sebuah pekerjaan yang begitu menyenangkan dari rumah. Kadang memang harus keluar rumah, demi mengumpulkan berbagai jenis buku keren yang pasti kami berharap bisa laku terjual dan bisa menjadi penopang ekonomi kami.

Oh iya, kembali ke Tarot… eh, ke perempuan yang minta tolong dibacakan tentang kondisi keluarganya lewat tarot.

“Baik, Mbak … tolong mbak kocok kartu tarot ini, dan tolong ambil 3 kartu saja. Letakan berjejer ya, Mbak .. “

Perempuan berjilbab plus bertengger kaca mata cukup tebal di kedua indra pengelihatannya, meraih setumpukkan kartu tarot yang saya berikan. Cukup serius wajahnya terlihat. Tangannya pelan mengocok, namun rona wajahnya menyiratkan sebuah tautan rasa yang penuh penderitaan.

:Ini, Mas .. tiga kartunya yang saya pilih”.

Saya mengamati tiga kartu yang berjejer rapi di atas lantai keramik warna putih. Saya bersila menghadap tiga kartu itu. Pelan tangan saya mengambil satu kartu pertama.
Mulailah ‘insting’ dan ‘intuisi’ mengalir dan menyeruak dalam suara, meski pelan terdengar, saya mengalirkan kalimat-kalimat ‘wangsit’ yang ditunjukkan oleh kartu tarot yang pertama.

Kartu kedua saya buka. Dan, sampai juga pada kartu ketiga.

Sang perempuan tertawa-tawa. Namun, semua yang saya sampaikan ia benarkan. Ia merasa ditelanjangi. Sebab, semua kondisi rumah tangganya bisa terbaca hanya dari tiga kartu tarot yang ia pilih sendiri.

Dan, selesailah sesi pembacaan tarot. Tentu saja, saya juga memberikan beberapa advice atau nasihat berkenaan dengan masalah rumah tangga yang sedang perempuan ini hadapi.
Saya kembali ke ruang kerja saya. Di mana ada tiga rak buku cukup besar, serta meja kerja dengan PC dan monitor di mana saya biasa melayani semua pelanggan buku saya.
Pikiran saya menerawang cukup jauh. Di depan meja dan menghadap monitor PC, saya melihat sebuah ‘rutinitas’ masalah yang dihadapi oleh nyaris setiap manusia. “Masalah’ dengan pikirannya sendiri. Bermasalah dengan ‘persepsi’ yang ia bangun sendiri. Tak terlepas juga dengan saya sendiri.

Kartu tarot bukanlah memprediksi sesuatu dalam ruang permasalahan seseorang. Menurut saya ia adalah alat untuk menunjukkan tentang bagaimana pikiran kita bekerja, pikiran kita membuat pola, pikiran kita yang sering bermasalah, pikiran kita yang ingin selalu konsisten, pikiran kita yang kaku, pikiran kita yang mau menang sendiri!

Tiap kartu yang terbuka, merupakan ‘tracking’ atas pikiran kita sendiri. Ia hanya menunjukkan “Ini lho… pikiranmu sebenernya kayak gini! Penuh masalah bukan?”.
Dan, saya pun menyadari. Bahwa, salah satu cara kerja pikiran adalah dengan selalu membuat pola tertentu. Pola selalu saja dilahirkan dari aktifitas pikiran yang menambatkan diri pada ruang masa lalu. Ini!

Meskipun saya atau seseorang berusaha merubah pola, namun jika pada prinsipnya tetap menambatkan pada ruang/dimensi masa lalu, menurut saya, kita kembali masuk kepada keterjebakan pikiran kita sendiri. Masuk kembali ke lingkaran setan yang susah terurai. Masuk kembali dalam semesta penjara yang tak berkesudahan.


Eko Waluyo

SHARE THIS

Author:

Facebook Comment

0 komentar: